PALANGKA RAYA – Denting musik tradisional menggema di udara siang itu, menyatu dengan pekik semangat para peserta. Di tengah arena lapangan Stadion Tuah Pahoe, Palangka Raya, sekumpulan pemuda dengan pakaian adat warna-warni menampilkan gerakan tangkas yang penuh makna. Inilah Lawang Sakepeng, seni bela diri tradisional Dayak yang kembali menghidupkan ruh budaya dalam Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) 2025, Senin (19/5/2025).
Sorot mata para penonton tertuju pada satu titik, tempat para peserta berlaga dalam koreografi bela diri yang tak sekadar mengandalkan kekuatan fisik. Ada ketenangan spiritual, ada filosofi perlawanan yang sakral, ada kehormatan yang dijunjung. Bagi masyarakat Dayak, Lawang Sakepeng bukan hanya pertunjukan – ia adalah bentuk penghormatan, doa, dan identitas.
“Lomba ini penting untuk menjaga jati diri budaya kita. Lawang Sakepeng adalah warisan leluhur yang harus dijaga, bukan hanya ditonton,” ujar Guntur Talajan, Tokoh Budaya Kalteng sekaligus Ketua Umum IPSI Provinsi Kalteng, yang duduk tenang di barisan depan penonton.
Lelaki paruh baya itu menatap dengan bangga setiap gerakan para peserta, seolah melihat bayangan masa kecilnya dalam setiap langkah dan kibasan tangan. Baginya, Lawang Sakepeng pernah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, jauh sebelum festival semeriah ini ada.
“Seni bela diri ini menyimpan makna spiritual dan simbolis yang tidak bisa digantikan oleh bela diri modern,” katanya.
Tahun ini, peserta datang dari berbagai kabupaten dan kota se-Kalimantan Tengah, dengan semangat yang sama: memperkenalkan budaya mereka kepada dunia. Mereka tak sekadar bertarung di panggung, tetapi menyampaikan pesan-pesan leluhur lewat gerak.
Lomba Lawang Sakepeng dinilai berdasarkan ketepatan waktu, teknik, kekompakan, kostum, hingga ekspresi wajah. Semua harus menyatu, seperti halnya manusia dan alam dalam filosofi hidup masyarakat Dayak.
“Kami ingin generasi muda mencintai budaya mereka sendiri. Lewat Lawang Sakepeng, semoga rasa bangga itu tumbuh,” tandas Guntur. (Red/Adv)