PALANGKA RAYA – Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Tengah, Siti Nafsiah, menegaskan bahwa percepatan pembahasan Raperda Mineral Bukan Logam (MBL) tidak berkaitan langsung dengan kasus dugaan penyalahgunaan pertambangan zirkon yang sedang diusut aparat penegak hukum (APH).
Menurutnya, ada pihak yang beranggapan bahwa Raperda ini penting segera disahkan karena dikaitkan dengan perkara hukum yang mencuat belakangan ini.
Namun, ia meluruskan bahwa Raperda MBL memang dibutuhkan untuk memperkuat regulasi, memberikan kepastian hukum, dan menata tata kelola pertambangan di Kalteng.
“Kalau bicara soal kewenangan, sejak UU Nomor 4 Tahun 2009 memang masih di kabupaten. Setelah lahir UU Nomor 3 Tahun 2020, kewenangan itu ditarik ke provinsi. Lalu melalui Kepmen ESDM Nomor 147 Tahun 2022, status zirkon berubah dari MBL biasa menjadi MBL Jenis Tertentu. Pengelompokan lainnya diatur lagi dalam PP 96/2021 dan didelegasikan lewat Perpres 55/2022,” jelas Nafsiah melalui pesan singkat, Sabtu kemarin (6/9/2025).
Ia menekankan, persoalan hukum yang kini muncul berbeda substansi. “Kasus zirkon yang ditangani APH saat ini lebih terkait dugaan penyalahgunaan RKAB untuk pengangkutan dan penjualan. Ada perusahaan yang sudah memiliki IUP OP, tetapi membeli hasil tambang dari masyarakat tanpa asal-usul yang jelas, lalu menjual atau mengekspornya menggunakan dokumen perusahaan. Bahkan, mereka tidak mengurus surat angkut resmi,” paparnya.
Nafsiah menilai, dengan adanya Raperda MBL, tata kelola pertambangan di Kalteng bisa lebih jelas, transparan, dan menutup celah praktik-praktik yang merugikan negara maupun masyarakat.
“Ini bukan soal kasus, tapi soal kebutuhan regulasi. Raperda ini hadir untuk memastikan pengelolaan pertambangan berjalan sesuai aturan, adil bagi daerah, sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan,” tegasnya. (*)